Jiwa Yang Langka
>> Kamis, 12 November 2009
Pengumuman kelulusan ujian akhir
nasional. Satu jam lagi kata kepala sekolah ketika memberi sambutan. Kami
berkumpul dan berbaris tepat pukul 08.00 pagi, dihalaman sekolah. Sambutan dan
pengarahan Kepala sekolah di dengarkan dengan hikmat, semua murid menunduk
berdo’a dengan hati berdebar. Menanti detik-detik yang sangat menentukan masa
depan. Setelah sambutan, semua siswa kelas III SMP Bhakti Negeri masuk ke dalam
kelas masing-masing.
Sangat menegangkan. Hari ini sebuah
sejarah terpatri dalam diri masing-masing. Dan anehnya kelas III D yang waktu
kemarin ketika masa belajar terkenal dengan keributannya dan selalu didatangi
oleh guru BP, hari ini sunyi senyap. Anak-anak biang keributan khusuk dengan
do’a mereka. Semua menundukan kepala dengan tangan di atas meja, dari balik
jendela kaca, langkah Ibu Rita wali kelas III D terlihat memasuki ruangan,
wajahnya pun tegang, beliau takut dan malu jika pelajaran yang selama ini
diberikan guru-guru SMP Bhakti Negeri tidak membuahkan hasil. Bu Rita melangkah
dengan membawa map berwarna kuning yang didalamnya berisi empat puluh amplop
berwarna putih yang sudah tertera nama masing-masing dari murid yang ada di dalam
kelas ini.
“Anak-anaku, ketegangan ini bukan
hanya dirasakan kalian namun juga semua dewan guru di sekolah ini. Diantara
kalian ada yang gagal dan harus mengulang tahun depan. Kami dewan guru meminta
maaf jika pelajaran yang kami berikan tidak dapat diterima dengan baik oleh
kalian, kami sudah berusaha semaksimal mungkin untuk membantu kalian. Dan semua
itu kembali pada kalian. Jika kalian selama ini serius dalam belajar, pasti
kalian tidak akan kecewa. Baiklah langsung saja akan saya bagikan amplop
pengumuman ini dan ibu harap dibuka di rumah, di depan orang tua kalian.”
Sambutan Ibu Rita menambah gementar hati semua murid.
Satu persatu amplop sudah berada di
tangan semua murid. Kami sekelas tidak ikut keluar kelas, detak jantung
mengiringi detik-detik penentuan. Amplop putih ini kupandangi dengan perasaan
khawatir, namun penasaran. Seakan tidak mendengar perintah Ibu Rita untuk
membuka di rumah di depan orang tua, karena besar rasa penasaran akhirnya kami
sepakat untuk membuka bersama-sama di dalam kelas. Belum ada intruksi buka, si
Hari anak paling bandel di kelas berteriak dan tersungkur sujud di lantai kelas
“terima kasih Tuhan” teriaknya, pandangan kami serentak tertuju padanya. Rasa
penasaran kami semakin memuncak. Riuh mendadak terjadi. Tangis sedih si Bolon
anak yang menjadi siswa teladan tak dapat terelakan satu pelajaran dia gagal. Tiga
murid putri pingsan tak sanggup dengan kenyataan, rasa malu dan menyesal
bercampur aduk, rasa heran bercampur curigapun terlempar.
Aku membuka amplopku dengan
gemetaran. Kertas putih yang berlogo dinas pendidikan aku buka berlahan,
langsung mataku menemukan nama yang dicetak dengan huruf tebal.”AGUS SUJATMIKO”. Lalu kulihat tulisan “LULUS”. Jantungku semakin berdebar,
haru hingga meneteskan butiran bening di kelopak mataku. Perjuangan bapak dan Ibu
tidak sia-sia, batinku.
Rasa bahagia, bercampur dengan
kecewa dan sedih. Setiap orang yang mengucapkan selamat pada ku pasti disertai
dengan pertanyaan yang tidak dapat aku jawab, bahkan menyakitkan sekali.
“Selamat ya, mau lanjut ke SMA mana?” Hanya “Entahlah” jawabku.
Aku mengingat selama 3 tahun sekolah,
keadaan ekonomi keluarga semakin memburuk. Untuk lulus SMP saja aku sudah
sangat bersyukur sekali. Karena hampir saja aku mandek di tengah jalan. Karena aku rasakan kesulitan yang di alami
orang tuaku sangat berat, jangankan untuk membayar iuran sekolah atau membeli
LKS, untuk makan sehari saja Bapak harus mencari bekicot setiap pagi, yang hanya di hargai Rp.1500/kg-nya. Dan itu
tidak cukup untuk membeli 1 kg beras.
Namun, semangat Bapak untuk terus
menyekolahkan aku tetap membara. Setiap hari nasehat-nasehatnya membukakan
pikiranku. Ketika bapak mulai mengeluh dengan keadaan ini, karena biaya kelas 3
itu tidak sedikit, keajaiban Tuhan datang. Aku mendapat beasiswa dan akhirnya
aku dapat lulus juga walau dengan sangat tertatih.
Semua guru menasehati aku, agar
jangan menyiakan prestasi ini, namun aku anggap sia-sia saja prestasiku. Ibarat
ubi rebus, jika memasaknya sempurna maka empuk dan enak dimakan, namun jika ubi
itu direbus dan ditengah kematangannya api ditungku dimatikan maka hanya jadi
ubi yang bantat. “matang tidak, mentahpun nggak” . Itulah aku dan itu menjadi
beban dalam pikiranku. “Kalau bukan aku siapa yang akan merubah nasibku” kataku dalam hati.
Sepanjang jalan pulang rasaku tak
karuan. Otakku ditempa oleh keadaan. Kebimbangan untuk menetapkan masa depan
begitu suram. Mau jadi petani? Ladang dan sawah sudah terjual untuk biaya
pertama masuk sekolah. Lantas jika tidak melanjutkan sekolah mau jadi apa? Ngapain? Benakku terusik.
Sampai di rumah, keadaan rumah
sangat sepi. Bapak dan ibu serta Rinto adikku pasti sedang mencari kayu bakar
dan talas di kebun-kebun kopi milik warga yang blukar karena ditinggalkan
pemiliknya pergi merantau ke Luar Negeri menjadi TKI. Aku masuk ke dalam rumah,
mataku meyapu keseluruh sudut ruangan, sepi. Lalu aku buka tudung saji yang
terbuat dari anyaman bambu made in
bapak, kosong. Hanya sebutir nasi kering yang melekat di atas meja sisa
kemarin. Aku melangkah ke tunggu di dapur rumahku, senyap dan dingin. Abu yang
tersisa dari kayu bakar sepertinya sudah dari kemarin. “Pasti Ibu tidak masak
hari ini” Gumamku. Rasa lapar aku tahan, air putih aku harap cukup untuk
mengenyangkan perut.
Aku rebahkan tubuhku di balai
bambu, amplop kelulusan masih aku pegang .
“Keadaanku
sangat payah, aku harus tetap sekolah agar kelak keluargaku tidak lagi dalam
keadaan susah. Aku harus sekolah!, tapi aku tidak akan meminta biaya pada orang
tua, walau tahun ini Tuhan belum mengizikan, aku harap tahun depan, aku harus
tetapa sekolah” Jerit hatiku.
Rasanya aku harus hijrah dari desa
ini. Aku akan mencari pekerjaan untuk menlanjutkan sekolahku sendiri. Itulah
tekad ku. Pikirianku merayap jauh, keadaan keluargaku membangun mimpi-mimpi
besar di anganku. Aku jadi ingat petuah guru SD ku” Raihlah cita-citamu setinggi bintang di langit. Jika tidak tergapai
setidaknya setinggi pohon kelapa yang tergapai” kata bijak itu mampu
mendorongku untuk tetapkan pendirianku. Aku harus terus sekolah!. Kukepalkan
tangan, kukatupkan bibir dan biarkan gigi-gigiku beradu, dengan perasaan geram
dan greget penuh semangat.
Terdengar dibelakang rumahku suara
“dubrak” segulung kayu bakar di
bantingkan oleh Bapak. Nafas lelahnya terdengar hingga ketempatku berbaring.
Rengekan kambing bersahutan ketika melihat Rinto membawa segulung rumput hijau
yang segar. Suara pintu dapur terbuka. Aku bangkit dari rebahku, melangkah
menyambut mereka.
“Sudah pulah le” Sapa Ibu sambil meletakan keranjang yang berisi pucuk daun
singkong dan tales di dekat rak piring yang sudah reot.
“Iya bu” Jawabku sambil mencium
telapak tangan ibu, dengan harum keringat dan walang sangit, lalu
disusul dengan tangan bapak yang legam mengkilat oleh keringat. Rinto sibuk
memberi makan kambingnya.
“ Terima kasih Pak, Bu akhirnya aku
lulus” Ucapku sambil memeluk tubuh-tubuh renta itu. Tangan-tangan kasar namun
lembut itu mengelus rambutku dengan rasa haru dan sayang. Hatiku terasa adem tak sanggup untuk mengatakan jika
aku ingin sekali melajutkan sekolah.
“Kamu masih ingin terus sekolah
le?” Tanya Ibu, tiba-tiba. Aku terdiam, tak dapat menjawab. Aku tahu perasaan
mereka, aku tahu mereka sedih, aku tahu mereka sangat menginginkan aku harus
tetap sekolah, aku tahu mereka putus asa, namun mereka tak dapat ber buat
apa-apa.
Malam semakin larut, anganku terus
mengusik, gelisah tak dapat memejamkan mata. Semua posisi sudah aku terapkan,
miring salah terlentang salah tengkurap apalagi. Merdu suara jangkrik
mengiringi hembusan angin dingin yang menyelusup melewati cela-cela jendela
kamar dan menggoyangkan api pada lampu minyak dari kaleng susu di atas meja kecil
dalam kamarku.goyangan lidah api mungil itu seirama dengan goyangan kalut
otakku.
Terdengar lirih di tengah kesunyian
malam percakapan Ibu dan Bapak di dalam kamarnya.
“Anak kita harus tetap terus
sekolah Pak, kasihan lagi pula anaknya pintar dan cerdas” kata Ibu.
“Iya bu, tapi yang Bapak pikirkan
pakai apa kita membiayainya?” jawab Bapak lemah.
“Ibu yakin pak, nanti ada saja
jalan dan rezekinya, selagi kita benar-benar niat mau menyekolahkannya”
“Ya, kita hanya bisa berdo’a saja
bu”
“Gimana kalau kambingnya Rinto di
jual dulu Pak?, nanti kita ganti dari hasil paroan
kambing titipan Pak Kiran” Usul Ibu.
“Tapi kita harus izin dulu bu
dengan Rinto, Bapak Takut Rinto kecewa, ya ibu tahu sendiri Rinto sangat sayang
dengan kambing itu”
“Iya Pak”.
Lalu hening.
Keheningan malam berlalu, kokok
ayam jantan bersahutan disusul Azan subuh lirih dari surau, bergegas aku mandi
walau mata ini berat sekali karena semalaman aku tidak dapat tidur. Sholat
subuh adalah kewajiban.
Fajar menyingsing mentari hangat
menyinari halaman rumah yang belukar, tanaman hias tak terawat. Dibelakang
Rumah Rinto dan Bapak sedang membersihkan kandang kambing, sisa rumput yang
tidak dimakan kambing dikumpulkan lalu dibakar. Aku mengisi bak mandi dan
gentong untuk masak dan mencuci piring Ibu.
Di halaman belakang tepatnya di
kandang kambing, terdengar Bapak bercakap dengan Rinto.
“Le,.kambing Pak Kiran sebentar lagi akan melahirkan ini, kalau
dilihat dari besar perutnya sepertinya dua anak kambing didalamnya.” Kata Bapak
sambil mengelus-elus punggung kambing.
“Iya pak, kambing ku kapan ya pak
hamilnya?” Tanya Rinto.
“Wah tiga bulanan lagi baru bisa
dikawinkan le” Jawab bapak sambil tersenyum.
“Le,? Kalau anak kambingnya dua
satu untuk mas Agus ya?
“Iya pak” Jawab Rinto.
“ Le,? Bapak ini kasihan sama
masmu” Ucap Bapak serius.
“Kenapa pak” Tanya Rinto heran.
“Mas mu ingin sekolah lagi, tapi
Bapak gak ada biaya, padahal mas mu pinter loh le.”
“Iya pak, terus gimana pak?”
“Ya.. begini bapak Cuma Tanya,
kalau seandainya Bapak pinjam kambingmu boleh nggak le? Untuk bayar sekolah
masmu?” Tanya bapak hati-hati.
“ Nanti Rinto bagaimana pak?”
“ Ya kambing mas mu yang belum
lahir ini untuk kamu, gimana le?”
“Tapi Pak” Ucap Rinto ragu. Sambil
mengelus kambingnya, Rinto diam sesaat.
“Iya boleh pak. Tapi bilang sama
mas Agus, jangan sia-siakan”. Mendengar ucapan itu Bapak memeluk tubuh Rinto
yang mungil, anak sekecil Rinto sudah bisa diajak berbagi. Sungguh anugrah
Tuhan yang begitu besar untuk keluargaku.
Siang ini di belakang rumahku,
tepatnya di kandang kambing. Rinto mengelus-elus kambing kesayangannya. Kambing
betina muda hadiah dari kakek ketika dia sakit tipus yang hampir merenggut
nyawanya. Adiku sangat menyangi kambingnya, terlihat dari semangatnya mencari
rumput-rumput hijau segar setiap hari. Rinto terus mengelus, seakan ia sedang
berbicara dengan mengucapkan kata-kata perpisahan. Sebentar lagi ia akan
berpisah dengan kambingnya, H. Dungani akan mengambilnya karena sudah di
belinya.
Aku menatap adiku yang meratap.
Teriris hati ini melihat kesedihan yang terpancar di wajah polos itu. Wajah
yang lugu, namun mempunyai jiwa solidaritas keluarga yang mumpuni. Ia korbankan
harta satu-satunya, harta kesayangannya, demi aku. Demi cita-citaku.
Pengorbanannya tak dapat aku balas dengan nilai dunia, sungguh aku sangat
berterima kasih sekali dengan Rinto, berkat keihklasan hatinya, sekarang
Kambingya telah menjadikan diriku Seorang Sarjana, pengusaha dan Rinto dapat
sekolah dengan layak. Itu lah janji yang pernah aku ucapkan ketika titik bening
menetes melepas kepergian kambingnya.
0 komentar:
Posting Komentar